Chapter 5 Kilas Balik

PAGI HARI – NEGERI ASAL ARNAN

Udara pagi menghembus pelan di antara jendela kaca yang setengah terbuka. Kota ini tak pernah benar-benar berubah. Bangunan-bangunan tua masih berdiri kokoh, jalan-jalan kecil tetap sunyi di pagi hari, dan aroma kopi dari kedai di pojok jalan tetap sama seperti dulu.

Arnan duduk di beranda rumah tua peninggalan ibunya. Rumah itu kini kosong, hanya dihuni oleh diam dan kenangan. Di hadapannya, secangkir kopi yang mulai dingin dan sebuah album foto terbuka di pangkuannya. Jarinya menyentuh lembut wajah seorang perempuan paruh baya dalam foto-ibunya, yang telah tiada.

"Kau tahu, Bu... kadang aku masih berharap bisa dengar suaramu lagi. Meski hanya sekali," gumamnya pelan.

Angin berhembus lembut. Seakan menjawab kerinduannya.

Matanya menerawang, dan perlahan, kenangan itu menyeruak.

---

KILAS BALIK – LIMA BELAS TAHUN YANG LALU

"Arnan, kamu harus berhati-hati. Dunia ini tak sebersih yang kamu pikirkan."

Ibunya menatapnya dengan mata tajam tapi penuh kasih. Saat itu mereka duduk di meja makan, malam menjelang, dan suara berita dari televisi menjadi latar belakang samar.

"Kenapa Ibu bicara seolah Ibu tahu sesuatu yang aku tidak tahu?" tanya Arnan sambil memotong roti.

Perempuan itu hanya tersenyum tipis. "Karena Ibu pernah muda. Pernah bertemu orang-orang yang kamu anggap sahabat... yang ternyata menyimpan belati di balik punggung."

Arnan terkekeh. "Ibu seperti sedang beri peringatan, bukan nasihat."

"Ibu hanya tak ingin kamu terluka, Nak."

---

Kembali ke masa kini, Arnan menutup album itu perlahan. Napasnya berat.

"Maaf, Bu... Aku tetap terluka," bisiknya.

Ia berdiri, berjalan ke dalam rumah dan menuju rak tua di sudut ruang tamu. Di sana, tersembunyi di balik beberapa buku tua, ada satu map merah yang selama ini tidak pernah dibuka lagi. Dalam map itu, tersimpan laporan kematian ibunya-tertulis sebagai perampokan yang berujung fatal. Tapi Arnan tahu itu bukan sekadar perampokan biasa.

"Aku akan temukan siapa pelakunya. Aku janji."

Namun ingatannya terhenti bukan hanya pada ibunya. Sosok Alea muncul, sejelas bayangan di kaca.

---

KILAS BALIK – ATAS GEDUNG CONSTELLATION BRANDS

"Aku hanya ingin udara segar," suara Alea terdengar ringan, nyaris seperti lelucon.

"Jangan anggap aku bodoh," balasnya saat itu, nyaris geram.

Malam itu masih membekas kuat. Sorot mata Alea-keras, penuh rahasia, dan menyedihkan.

"Kalau kau terus mengikutiku, kau akan hancur, Arnan."

"Maka biar aku hancur bersamamu."

---

Arnan menutup matanya. Jantungnya berdegup kencang. Ia tak tahu di mana Alea sekarang, apakah masih hidup atau sudah tenggelam dalam kekacauan yang ia bangun sendiri.

Tapi satu hal yang ia tahu, hatinya belum bisa membencinya.

---

Steve masuk ke ruangan kerja Arnan dengan membawa dua cangkir kopi. Ia tersenyum santai seperti biasa.

"Kau kelihatan murung hari ini. Mimpi buruk?" tanyanya sambil meletakkan cangkir di meja.

"Sedikit," jawab Arnan tanpa menoleh.

"Masih tentang Alea?"

Arnan menatapnya tajam. "Kau selalu tahu banyak, Steve."

Steve tertawa kecil. "Aku hanya pengamat yang baik."

Arnan memandangi kopi di tangannya. "Aku merasa... Dia punya sesuatu yang ia tutupi."

"Alea? Kau terus membahasnya semenjak kau bertemu dengannya pertama kali."

Steve duduk di kursi seberang, sikapnya tenang, penuh empati.

"Kau tahu, kadang orang seperti dia... bukan benar atau salah yang mereka cari, tapi alasan untuk tetap bernapas."

"Dan jika napas itu membunuh orang lain?"

Steve menatapnya sejenak, lalu menghela napas. "Aku tak pernah terpikir kalau gadis sepertinya bisa tragis membunuh orang lain."

"Ya, aku juga merasa begitu...." Arnan mengangguk pelan, namun dalam pikirannya, pertanyaan lain terus berputar.

Siapa sebenarnya Alea? Dan... Kenapa ia menargetkan Arnan yang bukan siapa-siapa.

---

MALAM HARI – SEBUAH KAMAR DI LUAR KOTA

Alea duduk di lantai kamarnya, bersandar pada ranjang yang tak tertata rapi. Ia menggenggam kotak kecil dari kayu, usang dan penuh debu, seolah tak pernah disentuh selama bertahun-tahun. Di dalamnya, tersimpan beberapa surat tua, kliping koran yang menguning, dan sebuah foto keluarga yang nyaris robek di bagian pinggir.

Wajahnya sendu, sorot matanya kosong.

"Kau harus ingat, Alea. Dunia ini milik mereka yang kuat. Kalau kau ingin bertahan, kau harus jadi lebih kuat dari musuhmu. Bahkan jika musuh itu adalah temanmu sendiri."

Tertanda: Ayah.

Alea menghela napas panjang. Surat itu ditulis saat ia berusia lima belas tahun. Tahun pertama ia menyadari bahwa ayahnya bukan pria biasa.

KILAS BALIK – RUMAH MEWAH DI MASA REMAJA ALEA

"Ayah, kenapa kau tak pernah membiarkanku berteman dengan siapa pun?" Alea kecil berdiri di depan meja kerja ayahnya yang besar, dengan suara yang hampir bergetar.

Pria paruh baya itu mendongak dari berkas-berkasnya, menatap putrinya dengan mata dingin namun tenang.

"Karena teman adalah kelemahan. Kelemahan adalah awal kehancuran."

"Tapi... aku juga butuh seseorang untuk diajak bicara. Untuk... jadi manusia biasa."

Pria itu tertawa pelan. Tawanya pendek, namun mengandung nada mengejek. Ia bangkit, berjalan pelan mendekati Alea.

"Kau bukan manusia biasa, Alea. Kau anakku. Kau dilahirkan untuk memimpin, untuk mengendalikan. Bukan untuk... mengeluh tentang kesepian."

Alea menatapnya. Wajahnya polos, tapi matanya menyimpan gejolak. Ia hanya ingin dicintai tanpa syarat, bukan dilatih seperti prajurit.

"Aku cuma ingin jadi anak normal..."

"Kau akan berterima kasih padaku suatu hari nanti," bisik pria itu sebelum membalikkan badan.

....

Tangannya gemetar saat merobek surat itu. Satu demi satu lembaran kenangan ia keluarkan dari kotak-seperti menelanjangi luka lama yang tak pernah sembuh.

"Kenapa kau jadikan aku begini...?" bisiknya nyaris tak terdengar.

Ia menarik napas panjang, mencoba menahan tangis. Tapi air matanya jatuh juga, menetes di sudut kotak kayu.

DUA BELAS TAHUN YANG LALU.

Usianya tujuh belas. Malam itu ia menangis di bawah hujan, duduk di anak tangga teras rumah. Ibunya telah lama tiada-dan ayahnya tetap menjadi sosok yang tak bisa didekati.

Steve, pria kepercayaan sang ayah, menghampirinya sambil membawa payung.

"Masuklah, Alea. Kau bisa sakit."

"Lebih baik sakit tubuh... daripada terus seperti ini," balas Alea tanpa menatapnya.

Steve duduk di sampingnya, menaruh payung begitu saja agar mereka berdua basah kuyup.

"Kau tahu, aku melihat ibumu dalam dirimu," katanya lirih. "Ia juga pernah menangis di sini."

Alea menoleh cepat. "Kau kenal Ibu?"

Steve hanya tersenyum. "Lebih dari yang kau pikirkan."

Ia menatap gadis itu dalam-dalam. "Tapi satu hal yang perlu kau tahu, Alea... Kau boleh membenci ayahmu. Tapi jangan biarkan kebencian itu membentuk siapa dirimu nanti."

"Lalu siapa yang akan membentukku? Dunia? Dia?"

Steve terdiam sesaat. "Dirimu sendiri."

....

Alea kembali membuka kotak dan menarik keluar satu foto lama-dirinya bersama ibunya. Ia bahkan hampir lupa wajah lembut itu. Ibunya, satu-satunya sosok hangat yang pernah ia miliki, dan yang pergi terlalu cepat.

"Kalau saja Ibu masih hidup..." gumamnya.

Ia bangkit perlahan, berjalan ke cermin besar di sudut ruangan. Menatap pantulan dirinya yang kini penuh luka, baik yang terlihat maupun yang tersembunyi.

Arnan pun melintas dalam pikirannya. Wajah lelaki itu terlalu jujur untuk dunia tempat ia tinggal. Tatapan Arnan yang tak pernah menyerah memahaminya, justru jadi pisau yang paling tajam karena membuatnya merasa lemah.

"Maafkan aku, Arnan..." ujarnya lirih. "Aku tak bisa memilih hidup yang lain."

Namun bahkan dirinya sendiri tak tahu, bahwa hidup yang ia jalani sekarang tak sepenuhnya hasil pilihannya. Ia dijebak. Oleh darah dagingnya sendiri.

Dan ia belum tahu... bahwa di balik semua kejahatan yang pernah ia tolak, terselip satu rahasia besar rahasia yang akan menghancurkan segalanya bila terungkap.​

                         

COPYRIGHT(©) 2022