Chapter 3 Lelaki Bernama Steve

Gedung Constellation Brands Inc menjulang megah di tengah kota, memantulkan bayangan kaca-kaca pencakar langit sekitarnya.

Alea berdiri di depan lobi, tubuh rampingnya tersembunyi di balik blazer abu-abu muda yang rapi. Kali ini ia bukan sekadar gadis misterius dari masa lalu Arnan-ia adalah seorang analis keuangan baru yang ditugaskan langsung dari Asia oleh perwakilan perusahaan cabang pusat. Setidaknya, itu yang tertulis dalam berkas perekrutannya.

Alea menarik napas dalam-dalam sebelum melangkah masuk. Senyum kecil dipasang di wajahnya, sopan namun datar. Ia menyapukan pandangan ke sekitar ruangan, mengenali beberapa wajah penting, termasuk satu yang tak asing: Steve.

Pria itu berdiri di dekat meja resepsionis, berpura-pura membaca papan pengumuman internal. Ia mengenakan jas biru gelap dan dasi hitam. Rambutnya disisir rapi ke belakang, dan ekspresinya tak berubah ketika mata mereka bertemu. Tapi Alea tahu-Steve selalu memperhatikannya.

Saat lift terbuka, Steve langsung menyusul dan berdiri di samping Alea.

"Pagi yang sibuk, bukan?" gumamnya pelan, cukup untuk didengar Alea.

"Lebih sibuk dari yang kau kira," balas Alea tanpa menoleh.

Mereka berdiri dalam diam sampai lantai 16. Saat pintu lift kembali terbuka, Steve menahan tombol, memberi waktu Alea keluar lebih dulu.

"Temui aku di ruang arsip lantai 20 setelah makan siang," bisiknya sebelum pintu tertutup.

...

Sementara itu, Arnan tengah sibuk di ruangannya yang tak jauh dari bagian kontrol distribusi. Ia tak menyangka akan ditugaskan ke Amerika, apalagi di perusahaan sebesar ini. Namun perintah dari atasannya di negara asal Steve tak bisa ditolak. Meski tugasnya masih dalam bidang yang sama, ada yang berbeda dari atmosfer tempat ini. Lebih formal, lebih dingin... dan terasa seperti ada sesuatu yang disembunyikan.

Ia menatap layar laptop, mencoba fokus pada laporan logistik yang harus diselesaikannya. Tapi pikirannya terus berkelana ke satu sosok: Alea.

Gadis itu muncul kembali dengan nama berbeda, sikap berbeda, dan pekerjaan yang bahkan tak masuk akal baginya.

Sally, katanya. Tapi Arnan tahu benar itu adalah Alea.

Arnan menekan pelipisnya, frustasi. Ia ingin bicara langsung, menuntut jawaban. Tapi sejak pagi mereka belum saling bertemu. Tak ada sapaan, tak ada pandangan.

...

Lantai 20, ruang arsip.

Ruangan itu sepi dan dingin, nyaris seperti ruang penyimpanan tak terpakai. Alea masuk lebih dulu. Tak lama, pintu dibuka perlahan dan Steve menyusul.

"Kau sudah lihat layout baru gudang timur?" tanya Steve langsung.

"Sudah. Sistemnya terlalu terbuka. Terlalu banyak pintu masuk," jawab Alea sambil menatap lemari arsip di sudut ruangan.

"Bagus. Kurasa itu yang diinginkan klien kita."

Alea menatap Steve dalam-dalam. "Arnan ada di sana sekarang."

"Aku tahu," jawab Steve tenang. "Dan kau harus menjauh darinya. Jangan beri dia alasan untuk mencurigaimu."

Alea mendekat, suaranya merendah. "Aku tak yakin bisa terus menjaga jarak. Dia terlalu..."

"Manusiawi?" potong Steve. "Itu kelemahanmu, Alea. Dan itu bisa membunuhmu. Arnan orang cerdas. Kalau kau mulai lengah, dia akan tahu siapa kau sebenarnya."

Alea menghela napas, menatap lantai.

Steve mendekat, membisikkan sesuatu, "Kau bukan gadis kecil yang dulu. Ingat siapa yang membuatmu tetap hidup selama ini."

Ia meninggalkan ruangan begitu saja, meninggalkan Alea sendiri dengan tatapan kosong. Setiap langkah ke dalam permainan ini semakin dalam dan bayang-bayang masa lalu mulai mengurungnya.

...

Di lantai bawah, Arnan berjalan menuju kafetaria saat matanya menangkap siluet Alea melintasi lorong. Tanpa pikir panjang, ia memanggil, "Sally!"

Alea menoleh sebentar, tapi tak berhenti.

"Bisa kita bicara?" tanya Arnan, menyusul cepat.

Alea tetap berjalan, seolah tak mendengar.

"Alea!"

Langkahnya terhenti.

Perlahan, ia menoleh, matanya menusuk tajam. "Sudah kubilang, itu bukan namaku di sini."

"Kau bisa terus bohong soal nama, tapi mata dan caramu menatapku-aku tahu kau masih orang yang sama."

Alea menatapnya dalam. Ada luka, ada rasa bersalah, dan ada keraguan.

"Simpan firasatmu itu untuk pekerjaanmu, Arnan. Jangan ganggu tugasku di sini," ucapnya dingin sebelum kembali melangkah pergi.

Arnan berdiri mematung. Hatinya berteriak, tapi pikirannya mulai memahami. Sesuatu sedang terjadi, dan Alea berada di tengah-tengahnya.

Dan ia bersumpah, apapun misi yang dijalani perempuan itu, ia akan mengetahuinya. Bukan untuk menghancurkannya-tapi untuk menyelamatkannya.

Langkah Alea cepat, menyusuri lorong kaca yang tembus pandang ke halaman belakang kantor. Sepatu haknya berdetak mantap di lantai keramik, tapi jantungnya justru berdegup tak tentu arah. Ia tahu Arnan akan mengejarnya. Dan ia berharap, mungkin sedikit, bahwa pria itu benar-benar melakukannya.

"Arnan..." gumamnya lirih, meski tak ada siapa-siapa yang bisa mendengarnya.

Suara langkah kaki lebih cepat terdengar dari belakang. Ia tak perlu menoleh untuk tahu siapa itu.

"Berhenti menghindar," ucap Arnan akhirnya, kini hanya berjarak satu meter di belakangnya. "Apa yang sebenarnya kau sembunyikan?"

Alea berhenti.

Ia memutar tubuhnya perlahan, dan untuk pertama kalinya sejak mereka kembali bertemu, senyum tipis itu muncul-bukan senyum profesional ala Sally sang analis, tapi senyum Alea yang dulu. Senyum yang penuh teka-teki dan... rayuan.

"Kenapa kau selalu ingin tahu? Bukankah lebih mudah kalau kau tinggal diam dan menikmati waktu bersamaku, seperti dulu?"

"Karena aku bukan lagi orang yang dulu. Dan kau juga tidak."

Alea tertawa kecil, melangkah mendekat dengan langkah yang lebih pelan, lebih mengalir. "Lalu kenapa kau masih terus mengejarku, hm?" Suaranya rendah, nyaris berbisik. "Kalau kau benar-benar ingin tahu siapa aku... kau harus lebih dekat."

Ia kini berdiri begitu dekat hingga Arnan bisa merasakan wangi khas parfumnya. Bukan aroma lembut seperti sebelumnya, tapi ada sedikit aroma rempah yang tajam, memabukkan.

"Aku tidak bisa percaya padamu," ucap Arnan pelan, tapi tubuhnya tak bergerak menjauh.

Alea mengangkat dagunya sedikit. "Tapi tubuhmu mengatakan hal lain."

Arnan menggertakkan rahangnya, tapi tetap diam. Tangannya mengepal di sisi tubuhnya, menahan gejolak yang makin sulit dikendalikan.

"Kalau aku hanya ingin mempermainkanmu," lanjut Alea, jemarinya menyusuri lengan jas Arnan perlahan, "aku tak akan berdiri di sini dan membiarkanmu memandangku seperti ini... memikirkan segala kemungkinan di kepalamu."

"Cukup," desis Arnan akhirnya, menangkap pergelangan tangan Alea.

Tapi genggamannya tak kasar. Bahkan terlalu lembut untuk ukuran seseorang yang sedang curiga.

"Kau pikir dengan semua ini aku akan berhenti mencari tahu? Salah besar," lanjutnya, suaranya bergetar karena emosi.

Alea tersenyum lagi, kali ini lebih dalam, lebih bermain-main.

"Bukan begitu tujuanku," katanya. "Aku hanya ingin membuatmu ragu. Dan kalau itu cukup untuk membuatmu menundukkan kepala... maka aku berhasil."

Ia menarik tangannya pelan dari genggaman Arnan, lalu mendekat lebih jauh, hingga bibirnya hampir menyentuh telinga pria itu.

"Kalau kau ingin tahu siapa aku sebenarnya," bisiknya, "temui aku malam ini. Jam delapan. Di atap gedung."

Kemudian ia mundur, menatap Arnan sebentar, lalu berbalik dan berjalan pergi tanpa menoleh lagi.

Arnan berdiri kaku, napasnya sedikit memburu. Ia tahu, ia sedang jatuh ke dalam permainan yang rumit. Tapi ia juga tahu, Alea tidak pernah melakukan sesuatu tanpa alasan.

Dan malam ini... ia akan cari tahu kebenarannya. Atau tenggelam lebih dalam ke dalam perangkap yang entah mengarah ke mana.

...

Di tempat lain, Steve sedang duduk di ruang pantauan, menyimak percakapan mereka melalui alat penyadap yang disembunyikan dalam pin nama Alea.

Wajahnya tegang, tak seperti biasanya.

"Bodoh... kau terlalu dekat," gumamnya. Tapi ada senyum samar di sudut bibirnya, semacam kegembiraan aneh atas kekacauan yang mulai tercipta.

"Baiklah, Alea. Kalau itu pilihanmu... maka Arnan akan segera tahu siapa dirimu sebenarnya. Entah sebagai musuh... atau satu-satunya orang yang bisa menyelamatkanmu."

            
            

COPYRIGHT(©) 2022